Jakarta, Kampung Silat – Penelusuran Tim Riset Kampung Silat Petukangan sampailah pada Keluarga Besar Kong Nur. Nama beliau dalam silsilah ilmu (sanad) silat Beksi merupakan salah satu jalur guru dalam mempelajari silat Beksi. Kong Noer merupakan murid langsung dari H. Godjalih, Ki Marhalli dan beberapa sumber menyebutkan Ki Mursalim. Artinya bahwa Kong Noer sanad keilmuannya sampai kepada Ki Mursalim.
Kong Noer dilahirkan pada tahun 1901 dan wafat pada tanggal 12 Mei 1993. Beliau merupakan adik dari Kong Simin. Sebelum menjadi pesilat tangguh silat Beksi, beliau dididik agama secara disiplin oleh kedua orangtuanya, sehingga di kemudian hari beliau dikenal sebagai “juara” (Portugis) atau jawara silat Beksi yang religius. Kong Noer mempunyai enam orang istri dan dikaruniai tujuh orang anak. Kedua anaknya menjadi narasumber dalam tulisan ini, yaitu : Nyak Hj. Masnah dan Nyak Dahlia. Beliau sendiri sebagaimana kakaknya, mempunyai perawakan yang tinggi besar dan fisik nan tegap. Keluarga adik-kakak Kong Noer, yaitu : Kong Simin, Kong Ak, Kong Ganus, Kong Gamung, Mamak Benok dan Nasoh.
Kong Noer adalah pribadi yang sangat menyayangi keluarganya, hingga seringkali beliau sendiri yang menimbakan air dari sumur ke kamar mandi setiap pagi dan sore hari. Salah satu istrinya yang berjualan dan tidak berada satu tempat tinggal dengannya di Cipulir, sering dikunjungi dan diberikan haknya. Istri-istrinya yang lain, berada berdekatan satu sama lainnya. Ada beberapa istrinya yang bekerja sebagai buruh nembok (cap batik) di Kebayoran Lama. Pada pagi dan siang harinya, mereka sudah pulang kembali ke rumah.
Saat hari Besar Islam, semua keluarga berkumpul di rumah induk untuk bersilaturahmi dan bercengkerama. Kong Noer juga merupakan pribadi yang supel dan ramah kepada warga sekitar Petukangan. Tutur katanya halus dan tidak pernah marah, sehingga orang yang bertemu dengan beliau lebih hormat kepadanya karena halusnya tutur kata yang diucapkan, daripada memandangnya sebagai jawara.
Setelah kakaknya Kong Simin berhasil mengalahkan para centeng di Pasar Ikan, Batavia, nama keluarga besar beliau menjadi terkenal. Oleh karena itu, beliau dihormati di Pasar Ikan, sehingga pada saat muda sampai mempunyai seorang anak, beliau diketahui pernah menjadi pedagang ikan laut di sekitaran Petukangan dan di Kebayoran Lama sekitarnya dengan cara dipikul. Beliau terkadang berhari-hari pergi dari Petukangan karena menunggu kapal-kapal nelayan ikan yang bersandar di Batavia. Setelah kapal merapat, barulah beliau segera kembali ke Petukangan dan Kebayoran Lama untuk berjualan ikan.
Saat sedang tidak berjualan ikan, Kong Noer mengusahakan hasil kebun dan itu terus dilakukan, setelah beliau tidak lagi menjadi pedagang ikan. Kong Noer juga sempat menjadi salah satu aktor dalam program acara di stasiun TVRI pada tahun 1980-1990an. Beliau pun selalu berpenampilan rapi dengan memakai perangkat pakaian secara sempurna, baik saat di rumah ataupun saat berpergian. Kong Noer dapat dikatakan sebagai generasi muda Petukangan awal yang belajar silat Beksi pada H. Godjalih. Beliau sepermainan dan secara umur seusia dengan Mandor Minggu, ketimbang dari H. Hasbullah dan Kong Simin yang usianya jauh di atasnya. Namun secara derajat, Kong Noer sama seperti murid-murid H. Godjalih lainnya karena masa belajarnya sezaman dengan mereka. Salah satu kawan terdekatnya adalah H. Hasbullah yang sering menyempatkan diri silaturahmi di kediamannya. Seringkali anak-anaknya diberi uang oleh H. Hasbullah jika bertemu di jalan atau saat silaturahmi. Proses pembelajaran silat Beksi Kong Noer begitu unik.
Sejak belajar pada H. Godjalih kemudian pada Ki Marhalli, berhasil mengantarkannya kepada Ki Mursalim. Menurut keterangan bahwa Ki Mursalim adalah tokoh misterius yang tidak ada cerita lain selain dari jalur Kong Noer. Tokoh ini diceritakan tinggal di sebelah barat kanal kota Batavia lama, tetapi mengadakan pengajaran pada Kong Noer secara pribadi di Dadap. Menurut penuturan salah satu sumber mengatakan bahwa itu terjadi pada tahun 1928 – 1931an, pada saat Kong Noer muda menjadi emban pribadi Ki Mursalim.
Perawakan yang tegap dan besar, membuat gerakan silatnya terasa penuh kekuatan tetapi sedikit melambat. Namun, ketepatan gerakan tetap diutamakan. Silat Beksi jalur Kong Noer boleh dikatakan sebagai gerakan “offence under defense” atau menyerang dalam bertahan, sebab dalam prinsipnya (dalam redaksi narasumber) : “lemah belum tentu kalah dari yang kuat” dan “menerima apapun yang kita terima untuk dikembalikan kepada lawan”. Pada prakteknya, melemahkan gerakan diri bukan berarti bentuk kekalahan, tetapi sebagai bentuk keluawesan agar ketepatan penyerangan kepada lawan dapat dilakukan secara maksimal.
Pada masa pendudukan Jepang, Kong Noer bersama kakaknya, Kong Simin dan H. Hasbullah ikut menyepakati pembentukan sembilan jurus tambahan dari tiga jurus dasar silat Beksi menjadi 12 jurus dasar. Tidak diketahui apakah Kong Noer menjadi pasukan PETA seperti kakaknya atau tidak. Tetapi yang jelas pada 19 September 1945, beliau bersama para sahabatnya diminta oleh H. Godjalih untuk hadir dan mengamankan kondisi rapat raksasa di lapangan Ikada.
Sebelum peristiwa berdarah terjadi di Lengkong, Serpong Timur, pasukan Jepang pimpinan Kapten Abe yang bertugas menjaga gudang senjata, sering melakukan penjarahan ke rumah-rumah warga. Kong Noer dan Mandor Minggu menolak kedatangan tentara Jepang yang sudah kalah perang di Kampung Petukangan. Beberapa orang tentara asli Jepang dikabarkan tewas karena perlawanan warga Petukangan sebab itu mereka yang melawan dikejar-kejar, termasuk Kong Noer dan sahabatnya Mandor Minggu.
Pada peristiwa Lengkong pada 25 Januari 1946, ratusan rakyat dari sekitar Tangerang dan Jakarta Selatan serta para pemuda yang sebelumnya dididik dalam PETA berusaha meminta persenjataan dari Jepang, tetapi kemudian terjadi peristiwa berdarah yang mengakibatkan tewasnya salah satu pahlawan yaitu Daan Mogot.
Ketika ibukota diduduki oleh NICA pada akhir Januari 1946 dan mulai ada garis demarkasi. Kong Noer, Kong Simin, H. Hasbullah dan Mandor Minggu terus bergerak menuju garis demarkasi Indonesia di Bekasi dan Karawang. Mereka semua membantu para pejuang di garis milik Republik Indonesia. Ketika di sana, mereka ikut juga menyebarkan ilmu silat Beksi untuk media pertahanan para pejuang dari anak-anak sampai orang dewasa. Kadang kala, mereka ikut mengawal patroli TKR (Tentara Keamanan Rakyat) di sekitar Karawang-Bekasi, karena kakak Kong Noer menjadi anggota TKR selama masa perjuangan Revolusi Fisik. Akibatnya, nama Kong Noer sering menjadi salah satu incaran dari NICA di Petukangan. Hal itu terjadi karena sebagai menantu keponakan dari oppas Kebayoran (dari istrinya yang pertama) sejak zaman kolonial. Kong Nur seharusnya membantu NICA, tetapi semua keluarga sepakat, bahwa membantu Indonesia adalah keputusan yang tepat, sekalipun paman dari pihak istrinya itu kehilangan jabatan. Begitu juga M. Nur, tidak mau membantu NICA menguasai Jakarta dengan mudah.
Peristiwa heroik yang terjadi di Kebayoran mengejutkan pasukan NICA, seorang pemuda yang merupakan teman sepermainan Kong Nur bernama M. Saidi tewas, ketika dia bersama warga Petukangan lainnya, menghadang dan menghancurkan sebuah konvoi pasukan Belanda yang akan berpatroli ke Ciledug. Peristiwa tersebut dikenang oleh warga Petukangan, dengan mengabadikan namanya menjadi nama sebuah jalan yang menghubungkan Petukangan Selatan dengan Bintaro Utara.
Ketika keadulatan Indonesia diakui pada tahun 1949, Kong Nur bersama kakaknya, Simin dan H. Hasbullah masih sering mengajar di sekitaran Bekasi dan Karawang. Ketika memasuki dekade tahun 1960-an, Kong Nur lebih banyak mengajar ke daerah Tangerang dan Jakarta bagian barat karena faktor jarak yang cukup jauh. Di Petukangan sendiri, dia sering berdiskusi soal keamanan dengan Mandor Husain. Kong Nur juga seringkali mengajar di luar daerah Petukangan, untuk menyebarluaskan silat Beksi.
Selain ahli silat, Kong Nur juga dikenal sebagai jama’ah tarekat dari Qadiriyyah dan Sammaniyyah. Dimana hampir sebagian besar dari pesilat memang memasuki dunia tasawwuf sebagai pendalaman spiritual. Para muridnya walaupun tidak secara langsung diminta mengikuti ajaran tasawwuf dalam tarekat, menurut narasumber, terkadang para murid diberikan amalan-amalan dalam tarekat jika dimohon dari para muridnya. Semua murid sebelum belajar silat, dimintanya untuk mengaji terlebih dahulu dan mengirim doa sebagai tawasulan kepada Rasulullah dan guru-guru awal dari silat Beksi.
Menurut M. Nur, dalam redaksi melalui narasumber, pernah menyatakan bahwa : “jurus-jurus silat adalah pengejawantahan akal, yang dituangkan dalam praktek laku kehidupan dan fisik seorang pesilat”. Perguruan aliran Kong Nur saat ini tersebar seantero Jabodetabek dan luar kota salah satunya Yogyakarta dan pernah andil dalam Festival Tangtungan disana. (Aziz)
Komentar
Posting Komentar